Jumat, 18 Oktober 2013

Etika Seorang Jurnalistik

Sebelum kita bicara tentang etika jurnalistik, perlu kita ulas lebih dulu etika profesi. Hal ini karena jurnalis atau wartawan, seperti juga dokter dan ahli hukum, adalah sebuah profesi (profession). Apa yang membedakan suatu profesi dengan jenis pekerjaan lain?

Profesi menurut Webster’s New Dictionary and Thesaurus (1990)
Profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan seringkali juga persiapan akademis yang intensif dan lama. Seorang dokter ahli bedah, misalnya, sebelum bisa berpraktek membutuhkan pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia dan pendidikan, sekaligus latihan, cukup lama dan intensif.

Seorang ahli hukum juga harus belajar banyak tentang ketentuan hukum sebelum bisa berpraktek. Seorang jurnalis juga perlu memiliki keterampilan tulis-menulis, yang untuk mematangkannya membutuhkan waktu cukup lama, sebelum bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas. Contoh-contoh ini membedakan dengan jelas antara profesi dengan pekerjaan biasa, seperti tukang becak, misalnya, yang tidak membutuhkan keterampilan atau pengetahuan khusus.

Huntington menambahkan, profesi bukanlah sekadar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi khusus yang memiliki ciri-ciri:
1.     Keahlian (expertise)
2.     Tanggungjawab (responsibility)
3.     Kesejawatan (corporateness).

Sedangkan etika (ethics) adalah suatu sistem tindakan atau perilaku, suatu prinsip-prinsip moral, atau suatu standar tentang yang benar dan salah. Dengan demikian secara kasar bisa dikatakan, etika profesi adalah semacam standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat profesi tertentu.

Apa itu etika jurnalistik?
Secara sederhana, etika jurnalistik bisa diartikan sebagai nilai atau norma yang harus dijadikan sebagai pedoman oleh para pelaku jurnalistik (reporter, redaktur, lay-outer). Biasanya setiap media punya seperangkat etika yang mengikat anggotanya.

Inti dari semua pedoman tersebut : mengatakan kebenaran. Mahbub Junaedi (alm) seorang wartawan senior Indonesia menyatakan bahwa etika jurnalistik itu seperti polisi bikinan sendiri. Maksudnya, bahwa etika jurnalistik merupakan ‘aturan main’ yang dibuat sendiri oleh para wartawan  melalui suatu organisasi profesi dan media massa untuk menjaga agar wartawan dan media massa tetap berjalan sesuai fungsi sosialnya.

Fungsi sosial tersebut berupa tanggung jawab wartawan dan media massa untuk mendukung pengembangan kehidupan sosial yang lebih baik melalui pemberian informasi yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Kebebasan pers, bukan berarti memberi kesempatan kepada wartawan dan media massa untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dalam proses jurnalistik. Namun, kebebasan pers berupa kebebasan untuk melakukan proses jurnalistik secara leluasa demi penyajian fakta yang akurat melalui pemberitaan.

Dalam etika jurnalistik, dikenal istilah etika profesional kewartawanan dan etika media massa. Prinsipnya, keduanya sama, yakni landasan moral bagi proses jurnalistik. Perbedaannya hanya terletak pada lembaga yang membuat. Etika profesional umumnya dibuat oleh organisasi kewartawanan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan sebagainya. Sedang etika media massa dibuat oleh lembaga medianya. Misal, etika media massa yang dibuat Harian Kompas, Tabloid Bola, Majalah Tempo, dan lain-lain.

Perumus Kode Etik

Kode Etik biasanya dirumuskan oleh organisasi profesi bersangkutan, dan Kode Etik itu bersifat mengikat terhadap para anggota organisasi. Misalnya: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) membuat Kode Etik Kedokteran yang mengikat para dokter anggota IDI. Begitu juga Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), atau Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia), dan seterusnya.Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai salah satu organisasi profesi jurnalis, telah merumuskan Kode Etik sendiri.

AJI bersama sejumlah organisasi jurnalis lain secara bersama-sama juga telah menyusun Kode Etik Jurnalis Indonesia, yang diharapkan bisa diberlakukan untuk seluruh jurnalis Indonesia.Selain organisasi profesi, institusi media tempat si jurnalis itu bekerja juga bisa merumuskan Kode Etik dan aturan perilaku (Code of Conduct) bagi para jurnalisnya.

Harian Media Indonesia, misalnya, sudah memiliki dua hal tersebut.[3] Isinya cukup lengkap, sampai ke soal “amplop”, praktek pemberian uang dari sumber berita kepada jurnalis, yang menimbulkan citra buruk terhadap profesi jurnalis karena seolah-olah jurnalis selalu bisa dibeli.

Meskipun disusun oleh organisasi profesi atau institusi media yang berbeda-beda, di Indonesia atau pun di berbagai negara lain, isi Kode Etik pada umumnya bersifat universal dan tak banyak berbeda.

Tentu saja tidak akan ada Kode Etik yang membolehkan jurnalis menulis berita bohong atau tak sesuai dengan fakta, misalnya. Variasi kecil yang ada mungkin saja disebabkan perbedaan latar belakang budaya negara-negara bersangkutan. Untuk gambaran yang lebih jelas, sebagai contoh di sini disajikan Kode Etik AJI.

1.      Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.      Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
3.      Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4.      Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
5.      Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6.      Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
7.      Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
8.      Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9.      Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
10.  Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental, atau latar belakang sosial lainnya.
11. Jurnalis menghormati privasi seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
13.  Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
14.  Jurnalis dilarang menerima sogokan.
15.  Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
16.  Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17.  Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18.  Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
s


Sumber :



http://aliansiinsanpersbatam.blogspot.com/2012/10/etika-jurnalistik.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar